Seseorang
pasti pernah merasa sedih, kecewa, senang. Tetapi saya percaya
sebagai sebuah reaksi, setiap emosi yang datang dari dalam diri.
Seperti yang saya sebut diatas, adalah emosi yang jujur. Saya
menyebut sedih dan kecewa sebagai emosi yang paling buruk, jadi
sebaiknya tidak usah ditunjukkan. Kita bisa memilih ekspresi yang
baik yang akan kita gunakan untuk menyampaikan emosi yang kita
rasakan.
"Boleh
marah, sedih, kecewa. Tetapi jangan langsung bertindak."
Begitu pesan seorang teman.
Masih
menjalani kehidupan sebagai manusia (bukan malaikat), tentu saja
masih akan merasakan. Dan menunda reaksi adalah satu-satunya cara
terbaik yang saya percaya akan menyelamatkan saya dari akibat buruk.
Saat
kita merasa perlu menunjukkan bahwa kita kecewa atas sesuatu, menunda
reaksi akan membuat kita memiliki waktu untuk memikirkan argumen yang
kuat dan benar. Bahkan mungkin saja, setelah menggunakan jeda waktu
untuk berpikir, kita jadi merasa bahwa emosi yang kita rasakan tidak
lagi perlu untuk ditunjukkan.
Saya
memiliki kebiasaan untuk menuliskan apa yang saya rasakan dan
pikirkan. Begitu juga saat merasa sedih dan kecewa. Kadang saya
berpikir sambil menulis.
Menulis
itu memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Saya 1000% percaya ini.
Saat sedih/kecewa, tuliskan saja semuanya. Lalu kamu baca ulang.
Voila! The healing power of writing! Rasa yang tersisa adalah
perasaan ingin membuang semua tulisanmu ke tempat sampah (robek robek
dulu sebelum dibuang) dan membiarkan semuanya lewat.
Menulis
itu menemukan jawaban. Saat kita terus menulis, kita tidak sadar
bahwa kita sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam
kepala. Ketika semua pertanyaanmu terjawab, kamu menjadi manusia yang
sadar dan seimbang. Kemudian rasa itu hilang saat selesai menulis.
Dan masalah, jadi tampak tidak sebesar seperti sebelumnya.
Sedih
dan kecewa yg pernah saya rasakan macam-macam, misalnya ketika
diremehkan. Tetapi percaya deh, orang yang sering diremehkan akan
termotivasi dan terpacu untuk membuktikan ke orang lain kalau dirinya
tidak seperti yang mereka nilai. Dan menujukannya dengan aksi dan
prestasi.
Dan
yang kedua ketika kehilangan. Sesuatu akan sangat berharga nilainya
ketika sesuatu itu hilang/pergi.
Pernah
membaca disuatu buku rumus, katanya jika tidak mau menanggung sakit
akibat kehilangan itu mudah saja: jangan pernah merasa memiliki apa
pun di dunia ini.
Tetapi
apakah kenyataannya juga semudah itu? Tidak.
Saya
pernah mengalami kehilangan mulai dari orang tua, sanak keluarga,
mimpi, kesempatan, hingga hal remeh seperti benda kesayangan. Rumus
jangan pernah merasa memiliki apa pun di dunia ini ternyata masih
bisa mengatasi sedikit rasa kecil hati berkepanjangan. Sedikit.
Meski
saya tidak setuju dan tetap saja menanggung kehilangan itu rasanya
sakit.
Karena
sesiap apa pun hati kita, saat benar-benar dihadapkan pada kenyataan
bahwa apa yang melekat/orang disekitar saya bukan untuk saya genggam
selamanya, akan ada detik saya merasa justru rumus jangan pernah
merasa memiliki apa pun di dunia ini adalah lelucon.
Terkadang,
rasa sakit akibat kehilangan ternyata tidak bisa diselesaikan dengan
kalkulasi sesederhana itu. Terlebih lagi, karna objek kehilangan
mengikat diri kita dengan rasa memiliki yang khusus dan sukar terurai
oleh rumus mana pun.
Jadi
mulai sekarang, mari menghargai apa yang kita miliki.
Bersyukur
dengan apa yang kita masih punya. Orang tua, teman, dan hal hal lain
disekitar kita. Tentunya akan bisa memandang hidup dengan lebih baik.
Kita akan jarang mengeluh. Malah sebaliknya, kita akan mampu berpikir
positif dan menjadi seorang manusia yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar