Senin, 16 Januari 2017

Reaksi

Seseorang pasti pernah merasa sedih, kecewa, senang. Tetapi saya percaya sebagai sebuah reaksi, setiap emosi yang datang dari dalam diri. Seperti yang saya sebut diatas, adalah emosi yang jujur. Saya menyebut sedih dan kecewa sebagai emosi yang paling buruk, jadi sebaiknya tidak usah ditunjukkan. Kita bisa memilih ekspresi yang baik yang akan kita gunakan untuk menyampaikan emosi yang kita rasakan.

"Boleh marah, sedih, kecewa. Tetapi jangan langsung bertindak." Begitu pesan seorang teman.

Masih menjalani kehidupan sebagai manusia (bukan malaikat), tentu saja masih akan merasakan. Dan menunda reaksi adalah satu-satunya cara terbaik yang saya percaya akan menyelamatkan saya dari akibat buruk.

Saat kita merasa perlu menunjukkan bahwa kita kecewa atas sesuatu, menunda reaksi akan membuat kita memiliki waktu untuk memikirkan argumen yang kuat dan benar. Bahkan mungkin saja, setelah menggunakan jeda waktu untuk berpikir, kita jadi merasa bahwa emosi yang kita rasakan tidak lagi perlu untuk ditunjukkan.

Saya memiliki kebiasaan untuk menuliskan apa yang saya rasakan dan pikirkan. Begitu juga saat merasa sedih dan kecewa. Kadang saya berpikir sambil menulis.

Menulis itu memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Saya 1000% percaya ini. Saat sedih/kecewa, tuliskan saja semuanya. Lalu kamu baca ulang. Voila! The healing power of writing! Rasa yang tersisa adalah perasaan ingin membuang semua tulisanmu ke tempat sampah (robek robek dulu sebelum dibuang) dan membiarkan semuanya lewat.

Menulis itu menemukan jawaban. Saat kita terus menulis, kita tidak sadar bahwa kita sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam kepala. Ketika semua pertanyaanmu terjawab, kamu menjadi manusia yang sadar dan seimbang. Kemudian rasa itu hilang saat selesai menulis. Dan masalah, jadi tampak tidak sebesar seperti sebelumnya.

Sedih dan kecewa yg pernah saya rasakan macam-macam, misalnya ketika diremehkan. Tetapi percaya deh, orang yang sering diremehkan akan termotivasi dan terpacu untuk membuktikan ke orang lain kalau dirinya tidak seperti yang mereka nilai. Dan menujukannya dengan aksi dan prestasi.

Dan yang kedua ketika kehilangan. Sesuatu akan sangat berharga nilainya ketika sesuatu itu hilang/pergi.

Pernah membaca disuatu buku rumus, katanya jika tidak mau menanggung sakit akibat kehilangan itu mudah saja: jangan pernah merasa memiliki apa pun di dunia ini.

Tetapi apakah kenyataannya juga semudah itu? Tidak.

Saya pernah mengalami kehilangan mulai dari orang tua, sanak keluarga, mimpi, kesempatan, hingga hal remeh seperti benda kesayangan. Rumus jangan pernah merasa memiliki apa pun di dunia ini ternyata masih bisa mengatasi sedikit rasa kecil hati berkepanjangan. Sedikit.

Meski saya tidak setuju dan tetap saja menanggung kehilangan itu rasanya sakit.

Karena sesiap apa pun hati kita, saat benar-benar dihadapkan pada kenyataan bahwa apa yang melekat/orang disekitar saya bukan untuk saya genggam selamanya, akan ada detik saya merasa justru rumus jangan pernah merasa memiliki apa pun di dunia ini adalah lelucon.

Terkadang, rasa sakit akibat kehilangan ternyata tidak bisa diselesaikan dengan kalkulasi sesederhana itu. Terlebih lagi, karna objek kehilangan mengikat diri kita dengan rasa memiliki yang khusus dan sukar terurai oleh rumus mana pun.

Jadi mulai sekarang, mari menghargai apa yang kita miliki. 

Bersyukur dengan apa yang kita masih punya. Orang tua, teman, dan hal hal lain disekitar kita. Tentunya akan bisa memandang hidup dengan lebih baik. Kita akan jarang mengeluh. Malah sebaliknya, kita akan mampu berpikir positif dan menjadi seorang manusia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar