“Yes, gue ga lolos test-nya.”
Sepenggal pesan masuk ke ponsel gue. Datang dari salah satu
teman yang beberapa hari sebelumnya gue tau dia lagi mengikuti tes bertutut turut buat masuk di salah satu perusahaan stasiun tv. Beberapa hari berikutnya, akun Twitternya mendadak
dipenuhi tema-tema gloomy. Dia pun menolak ketika dua kali gue ajak jalan, atau
sekedar mampir ke kantor gue saat jam makan siang.
Aneh. Tapi gue maklum kok. Dia adalah salah satu orang yang
sangat ambisius, bahkan kadang gue curiga udah masuk ke level obsesif, jadi
harga kekecewaan yang dibayar juga akan begitu besar. Sebesar ambisi dan obsesi
yang dia pertaruhkan. Mungkinkah ini bagian dari euforia sarjana? Sibuk apply
lowongan kerja kesana kemari demi terhapusnya gelar nganggur-terlalu-lama.
Lalu gue mencoba bercermin. Maret tahun ini gue lulus kuliah. Mendapatkan
gelar sarjana, gue bangga karna nyatanya bisa gue sebutkan di signature email. 4 tahun
kerja dikantor yang sama, walau demikian gue bekerja di tempat yang mendekatkan
gue pada banyak hal yang gue senangi.
Tapi kemudian gue tinggalkan divisi lama
gue, buat ambil tawaran pindah divisi yang lebih ‘Menantang’ berat? Iya. Disana
sangat dituntut pekerjaan dengan ekspetasi tinggi. Nyaris sempurna? Iya. Jam
kerja yang lebih lama? Iya.
Sebelum gabung gue ditanya terlebih dahulu
pastinya. ‘Sanggup?’ dan gue berfikir, buat apa tuhan membekali kita dengan
kemampuan untuk belajar kalau tidak digunakan. Jadi, cukup adil bukan? Karena zona nyaman justru terlalu mengancam untuk tidak
berkembang. Percayalah.
Kita tinggalkan sejenak memori tersebut, hingga gue menemukan
beberapa momen ini.
1. Bapak tua yang gue temui beberapa waktu lalu ketika gue dan
kakak gue nyari buku di salah satu mall. Beliau ada di pelataran trotoar depan
mall itu.
Dari pembicaraan yang gue dengar, beliau menderita sakit
kusta. Tak heran ia membungkus sebelah telapak tangannya dengan sarung tangan.
Mungkin itu bagian yang sudah diserang kusta. Untunglah jemputan yang kita
tunggu (baca: uber) cepat datang, hingga gue ga perlu berlama-lama disana dan
terancam menangis ala film India akibat cerita si bapak tua. Sesaat sebelum gue
meninggalkan tempat itu si bapak bilang, “Namanya juga hidup, Nak. Gak mungkin
senang melulu, dan gak mungkin susah melulu.” *mencair detik itu juga*
2. Kedua, balita anak pedagang buah di pasar. Gue menjumpainya
ketika mengantarkan Mama ke pasar belanja sayuran. Ketika kami datang, lapaknya
yang hanya digelar di trotoar pasar sedang sepi. Hanya anak lelaki ini yang
‘menjaga’. Rupanya sang ibu sedang mengambil stok buah dari motor pengepul yang
ada di parkiran pasar. Sesekali ia berlari, bercanda dengan pemilik lapak
sebelah, lalu kembali ke lapak ibunya dan menyeruput es kacang ijo. Sendirian.
Di balik pakaiannya yang lusuh di sana sini, serta kakinya yang tak beralas
kaki, ia tak lupa tersenyum. Ia bahagia. Semiris apapun kondisi yang gue
saksikan.
Kita semua, termasuk gue pasti pernah gagal. Pernah juga
berusaha. Sekeras dan selembek apapun itu, segagal dan sesukses apapun
hasilnya, tugas kita adalah berusaha dulu sebisa mungkin sekuat yang kita bisa.
Kemudian adalah mensyukurinya. Atau malu akan datang, mengingat diri kita yang
sibuk mengelap tangis atau mengurung diri di kamar. Sementara di luar sana ada
mereka yang jelas-jelas lebih menderita dan berhak atas tangis atau keluhan,
tapi mereka memilih untuk tetap bahagia.
Satu hal, manusia wajib berlari dan mengejar apa yang ingin ia
kejar. Tapi hidup, pada satu titik, terkadang ingin berhenti sebentar agar bisa
tersenyum sambil menikmati lebih banyak hal di perjalanan tersebut. Karena
berlari kencang, sudah pasti menguras banyak energi, hingga lupa bersyukur atas
apa yang telah ditempuh, akibat bayang-bayang tujuan yang dikejar terlalu
menggiurkan untuk dikejar.
Ada masanya hidup perlu untuk menghela nafas sejenak,
berlari kecil, berjalan santai… Mengumpulkan tenaga, untuk suatu saat berlari
kencang. Lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar