Selasa, 21 Oktober 2014

MEREKA

Saya punya janji dengan teman saya, Arin.

Kantor Arin dekat dengan cafe yang biasanya saya kunjungi di tempat saya dulu bekerja. Saya pikir, daripada menunggu Arin di loby kantornya, lebih asik kalau saya menunggu di cafe ini. Saya juga sedang ingin mengenang masa – masa dulu ketika saya sering berkunjung di cafe ini.

Lokasi cafe ini di sebuah jalan utama di Jakarta, nyaman dan banyak pilihan makanannya.

“Saya pesan es campur ya, Mbak. Meja saya di sana..” menunjuk ke sebuah meja di pojok cafe.

Saya menyapukan pandangan pada sekeliling cafe. Tak ada pegawai yang saya kenal. Akhirnya, es campur yang sudah saya pesan sejak tadi tiba di meja. Saya mencicipi satu sendok. Segar dan manis. Dan semua kenangan yang tersaji di hadapan saya pun menjadi manis. Saya tersenyum dalam hati mengingat semuanya. Kenangan – kenangan dulu ketika saya sering berkunjung ke cafe ini dengan teman teman satu kantor saya dulu, berputar di hadapan saya seperti film.

Cafe ini akrab sekali dengan saya. AC-nya yang super dingin. Suasananya yang seperti di tengah hutan. Musik klasik yang diputar masih itu – itu juga. Daftar menu yang ter-laminating rapi tertata di setiap meja. Orang – orang asik dengan obrolan bersama kelompoknya di mejanya masing – masing. Seseorang di meja ujung sana sibuk memelototi laptopnya dengan kening berkerut. Wajahnya kreatif. Seperti penuh dengan ide. Mungkin dia sedang menulis sebuah novel yang akan menjadi best seller suatu hari nanti. Saya terinspirasi olehnya.

Di meja lain, remaja – remaja berseragam putih abu menikmati minuman mereka sambil bergosip.

“Kira – kira parfum apa ya yang disukain gebetan gue?”
“Eh, lo liat gak tadi, merek sepatu yang dipake sama guru Matematika baru kita? Gilaa men! Mahal banget tau..”

Hmmm.. kalau yang ini kok saya kurang begitu suka ya. Tidak penting rasanya.. Ah, lagipula apa urusannya? Hihi..

Dengan cermat saya memperhatikan wajah – wajah setiap pengunjung cafe ini, Sekelompok anak muda lainnya memasuki cafe. Sepertinya mereka habis pulang kuliah. Tangan mereka masing – masing dipenuhi oleh buku – buku kuliah yang tebal. Cafe ini juga lokasinya dekat dengan kampus. Tak bosan – bosan anak – anak kuliah itu setiap hari mampir ke cafe ini, untuk makan siang atau sekedar duduk – duduk menikmati kopi.

Kemudian teman saya Arin datang.

“Hai, seru banget kayaknya kok ketawa sendiri. Awas dikira gila loh”

Memandang layar laptop yg memiliki ratusan following “Eh iya, ini lagi bales reply replyan mention dari temen”

“Oh, temen apa? Temen kerja? Temen kuliah?”

“Hmm bukan, temen kenal di Stasiun” sambil sedikit tertawa.

“Hah? Stasiun?” dengan wajah bingung penuh tanda tanya.

“Iya Stasiun, Stasiun itu bernama Shania”

“……..”

“Ah, saya hanya bercanda…..Yang namanya hubungan pertemanan didasarkan pada apa sih? Kesamaan kan. Seperti sama-sama tinggal di sebuah kompleks alias bertetangga, sama - sama menerima beasiswa, sama-sama berada di ruang kursus bahasa, sama-sama satu kelas di sekolah atau sama-sama sekolah ke luar negeri dan menuju negara yang sama. Tapi saya dan Mereka sama sekali tidak pernah bertemu di bangku sekolah atau pun kuliah. Kami juga tidak bertetangga”

“Lalu?”

“Melalu seorang Shania saya bisa mengenal Mereka semua”

“Lantas, Shania itu Siapa?”

 “Shania itu adik kecil kesayangan saya”

“Hmm… sungguh saya tidak mengerti, dia keluargamu? Saudara? Atau?”

“Bukan, dia orang lain. Bahkan kita awalnya tidak saling kenal”

“Lalu bagaimana kamu bisa sayang sekali sama dia hahaha………..aneh”

“Hmm memang aneh…. Entah, setiap saya melihat dia. Saya merasa menyerap berbagai macam energi, dia bagai sejuta semangat buat saya setiap harinya. Kamu tau? Saya menjalani kuliah sambil bekerja karna siapa?”

“……….hmmm karna siapa? Shania?”

“Hahaha benar! Saya merasa dia bisa menjalani hidupnya dengan berbagai macam kegiatan yg menyibukan. Sekolah, theater, latihan dan lain lain. Masa saya sendiri tidak bisa. Saya juga mau hebat seperti adik kesayangan saya itu”

“Wah, hebat! Sepertinya dia benar benar jadi motivasi kamu yes. Good girl!”

“Tentu…… Dulu saya memimpikan kuliah. Saya memimpikan saat – saat jalan bersama dengan teman – teman sepulang kuliah. Saya memimpikan saat – saat saya bekerja kelompok dengan teman – teman mendiskusikan tugas kuliah. Saya memimpikan berada di ruangan kelas yang ber-AC, sibuk mencatat kuliah dosen. Saya sangat memimpikan semua itu.

Tapi, saya sudah terlanjur bekerja di sebuah perusahaan teman papa saya. Papa saya selalu menyuruh saya keluar dari pekerjaan dan menyuruh saya untuk fokus kuliah, namun saya tidak enak dengan teman papa saya itu, tapi saya berjanji untuk melanjutkan kuliah setelah setahun bekerja. Di tambah dulu saya ikut kelas akselerasi jadi lulus lebih cepat dari teman teman seumuran saya.

Setelah setahun bekerja, akhirnya saya tak sabar lagi untuk menjalani mimpi saya itu. Saya mendaftarkan diri di kampus yang saya inginkan. Saya juga tidak mau meninggalkan pekerjaan saya. Saya bisa mengatur jadwal kok. Saya kuliah di malam hari dan kerja di pagi sampai sore hari. Capek tak lagi saya rasa ketika semalaman harus begadang mengerjakan tugas kuliah. Kantuk selalu menggoda setiap malam di kelas, dan sepanjang siang di tempat kerja. Saat itu tidur siang adalah barang mewah buat saya. Saya tak punya satupun free day.
Jatuh bangun saya menjalani kuliah sambil kerja tahun pertama saya. Tapi saya puas. Itu adalah keputusan saya. Dan saya bahagia menjalaninya. Dan seperti apa yang Shania jalani, sibuk tapi saya yakin dia bahagia kok. Karna JKT48 itu adalah passion dia. Disitu tempat dia belajar, tempat dia menggapai mimpinya”

..................Maaf saya jadi cerita panjang lebar, rin”
“Hahaha tak apa, btw teman teman yg kamu ceritakan tadi yes. Bagaimana kamu bisa mengenal dia? Coba ceritakan. Aku ingin jadi pendengar yang baik hari ini”

Kamu tahu apa definisi kata ‘ajaib’? ‘Aneh’, ‘langka’, atau ‘mukjizat’? Sepanjang apapun definisinya dan sebanyak apapun padanan katanya, menurut saya ‘ajaib’ itu cukup terangkum dalam satu kata. Hayo coba tebak apa?

*sodorin mic* kalau jawab “Shanjunisme” langsung saya kasih soto sekaligus penjualnya.

Kenapa bisa?

Baiklah.

Mari kita clear kan sekarang juga. Duduk manis, siapkan cemilan, saya naik ke mimbar *pret*

Ajaib dalam konteks per-Shanjunisme-an ini hampir sama artinya dengan kata ‘aneh’. Ya, Shanjunisme itu aneh. Berawal dari sebuah ‘klik’ yang saya lakukan pada tombol ‘Follow’ di akun Twitternya, beberapa saat kemudian keanehan-keanehan lainnya muncul berturut-turut.

Mendadak muncul ‘Shanjunisme’ di daftar LINE group ponsel saya yg sebelumnya benci dengan grup-grup-an di LINE. Selain karena bunyi notifications-nya yang mengganggu kedamaian hidup, terutama kalau mayoritas membernya adalah biang gosip, juga karena kondisi ponsel saya sendiri. Menekan ‘Accept’ untuk sebuah request grup LINE itu sama halnya dengan menambah ‘beban hidup’ bagi ponsel saya yang leletnya luar biasa.

Ajaib selanjutnya. Selain karena takdir Tuhan YME (tssaahh!), karena Shania lah saya bertemu orang-orang baru. Orang-orang baru yang tidak kalah ajaib. Ada yang berhidung lima, bertubuh empuk seperti gula-gula kapas, bergigi bak serigala, bersayap kelelawar, bermata satu.

Tenang, yang ini becanda kok.

Satu persatu Shanjunisme yang saya kenal yang sebelumnya hanya saya temui sebatas di dunia maya saja kini satu persatu kita bertemu di dunia nyata.

Temen temen terasik, termepet deadline, tersampah sticker, dan ter semuanya. Semoga kita masih bisa bikin sesuatu lagi ya buat Shania Junianatha. Godspeed for us!!

Bertemu teman-teman baru, melakukan hal-hal baru, dan segenap hal-hal unik, lucu dan haru lainnya. Sudah lebih dari cukup rasanya untuk menguatkan premis bahwa Shanjunisme itu ajaib. Ya, setidaknya bagi saya. Entahlah menurut kalian bagaimana.

Jalan hidup itu kadang ibarat rel kereta api. Kereta itu sendiri ibarat alat yang kita gunakan, yang akan membawa kita menuju kepada cita-cita, impian, dan tujuan kita masing-masing.

Ada kalanya kita harus berhenti di sebuah stasiun pemberhentian. Beberapa orang yang telah bersama kita dalam kereta, akan turun meninggalkan kita demi tujuannya sendiri. Dan beberapa orang baru akan naik, menggunakan kereta yang sama dengan kita, untuk mengejar tujuannya yang lain, yang kini sama dengan kita.
--
Seperti pertemuan atau perkenalan saya dengan Ditta, Dinda, Mitha, Kak Rina, Abi, Ilham, Dhean, Kelvin, Briliawan, Afry, Yohanes, Lintang, Dhias, Mahendra, Jonathan,  Laud, Indra dan teman-teman lain yang menggemaskan dalam komunitas Shanjunisme. Saya dan teman-teman Shanjunisme ini, mungkin awalnya berada dalam rel yang tak sama dengan tujuan berbeda pula. Namun ada satu titik di mana kita telah bertemu dan mengenal satu sama lain. Dan titik itu adalah sebuah stasiun yang saya sebut “Shania”.
--
Rasanya sudah cukup banyak yang saya alami bersama teman-teman dalam komunitas Shanjunisme ini. Banyak tawa, banyak canda. Banyak belajar juga. Terima kasih untuk waktu-waktu menyenangkan bersama kalian, dear Shanjunisme. Terima kasih sudah mau menyapa saat saya menaiki kereta dan kalian sudah lebih dulu berada di dalamnya. Saya cinta kalian.
--
Kereta api terus berjalan, dan kita terus mengejar apa yang kita mau. Mungkin saja nanti ada saatnya kita akan berpisah di sebuah persimpangan rel, atau di sebuah stasiun pemberhentian lain, kemudian bukan tidak mungkin kita kembali bertemu dan berjalan beriringan. Akan ada juga pertemuan-pertemuan baru dalam perjalanan nanti. Saat kita beriringan, berjalan dalam rel yang sejajar, bahkan berada dalam rel dan kereta yang sama, mari kita rayakan dengan membuka hati dan sapa.

Every person we meet has the potential to become very important in our lives. We just have to remain open to the possibilities and blessing each encounter migh bring.

Kita akan selalu ada dan bersaudara.
Cheers!
**
“Wah, saya hampir tertidur mendengar ceritamu itu yes. Sampai sekarang (dan mudah - mudahan sampai selamanya), semoga kamu masih bertukar kabar, bertukar pikiran dan pendapat tentang hal apapun dengan mereka ya. Saling menyemangati dan memotivasi untuk mimpi - mimpi yang ingin kalian capai”

“………Selamanya dan pasti!”

Obrolan saya dan Arin pun berhenti sampai disini. Pengunjung cafe semakin ramai. Saya melirik jam tangan saya. Ternyata sudah jam makan siang. Saya pun meninggalkkan cafe ini untuk berjalan kaki menuju rumah. Sepanjang perjalanan, Ipod saya memutar lagu Shonici milik JKT48 “Impian ada di tengah peluh bagai bunga yang mekar secara perlahan, usaha keras itu tak akan mengkhianati”


--


Tidak ada komentar:

Posting Komentar