Saya punya janji dengan teman saya, Arin.
Kantor Arin dekat dengan cafe yang biasanya saya kunjungi
di tempat saya dulu bekerja. Saya pikir, daripada menunggu Arin di loby kantornya,
lebih asik kalau saya menunggu di cafe ini. Saya juga sedang ingin mengenang
masa – masa dulu ketika saya sering berkunjung di cafe ini.
Lokasi cafe ini di sebuah jalan utama di Jakarta, nyaman
dan banyak pilihan makanannya.
“Saya pesan es campur ya, Mbak. Meja saya di sana..” menunjuk
ke sebuah meja di pojok cafe.
Saya menyapukan pandangan pada sekeliling
cafe. Tak ada pegawai yang saya kenal. Akhirnya, es campur yang sudah saya pesan
sejak tadi tiba di meja. Saya mencicipi satu sendok. Segar dan manis. Dan semua
kenangan yang tersaji di hadapan saya pun menjadi manis. Saya tersenyum dalam
hati mengingat semuanya. Kenangan – kenangan dulu ketika saya sering berkunjung
ke cafe ini dengan teman teman satu kantor saya dulu, berputar di hadapan saya seperti
film.
Cafe ini akrab sekali dengan saya. AC-nya
yang super dingin. Suasananya yang seperti di tengah hutan. Musik klasik yang
diputar masih itu – itu juga. Daftar menu yang ter-laminating rapi tertata di setiap
meja. Orang – orang asik dengan obrolan bersama kelompoknya di mejanya masing –
masing. Seseorang di meja ujung sana sibuk memelototi laptopnya dengan kening
berkerut. Wajahnya kreatif. Seperti penuh dengan ide. Mungkin dia sedang
menulis sebuah novel yang akan menjadi best seller suatu hari nanti. Saya
terinspirasi olehnya.
Di meja lain, remaja – remaja berseragam putih abu menikmati
minuman mereka sambil bergosip.
“Kira – kira parfum apa ya yang disukain gebetan gue?”
“Eh, lo liat gak tadi, merek sepatu yang dipake sama guru
Matematika baru kita? Gilaa men! Mahal banget tau..”
Hmmm.. kalau yang ini kok saya kurang begitu suka ya.
Tidak penting rasanya.. Ah, lagipula apa urusannya? Hihi..
Dengan cermat saya memperhatikan wajah –
wajah setiap pengunjung cafe ini, Sekelompok anak muda lainnya memasuki cafe.
Sepertinya mereka habis pulang kuliah. Tangan mereka masing – masing dipenuhi oleh
buku – buku kuliah yang tebal. Cafe ini juga lokasinya dekat dengan kampus. Tak
bosan – bosan anak – anak kuliah itu setiap hari mampir ke cafe ini, untuk
makan siang atau sekedar duduk – duduk menikmati kopi.
Kemudian teman saya Arin datang.
“Hai, seru banget kayaknya kok ketawa sendiri. Awas
dikira gila loh”
Memandang layar laptop yg memiliki ratusan following “Eh
iya, ini lagi bales reply replyan mention dari temen”
“Oh, temen apa? Temen kerja? Temen kuliah?”
“Hmm bukan, temen kenal di Stasiun” sambil sedikit
tertawa.
“Hah? Stasiun?” dengan wajah bingung penuh tanda tanya.
“Iya Stasiun, Stasiun itu bernama Shania”
“……..”
“Ah, saya hanya bercanda…..Yang namanya hubungan
pertemanan didasarkan pada apa sih? Kesamaan kan. Seperti sama-sama tinggal di
sebuah kompleks alias bertetangga, sama - sama menerima beasiswa, sama-sama
berada di ruang kursus bahasa, sama-sama satu kelas di sekolah atau sama-sama
sekolah ke luar negeri dan menuju negara yang sama. Tapi saya dan Mereka sama
sekali tidak pernah bertemu di bangku sekolah atau pun kuliah. Kami juga tidak
bertetangga”
“Lalu?”
“Melalu seorang Shania saya bisa mengenal Mereka semua”
“Lantas, Shania itu Siapa?”
“Shania itu adik
kecil kesayangan saya”
“Hmm… sungguh saya tidak mengerti, dia keluargamu?
Saudara? Atau?”
“Bukan, dia orang lain. Bahkan kita awalnya tidak saling
kenal”
“Lalu bagaimana kamu bisa sayang sekali sama dia
hahaha………..aneh”
“Hmm memang aneh…. Entah, setiap saya melihat dia. Saya merasa menyerap
berbagai macam energi, dia bagai sejuta semangat buat saya setiap harinya. Kamu
tau? Saya menjalani kuliah sambil bekerja karna siapa?”
“……….hmmm karna siapa? Shania?”
“Hahaha benar! Saya merasa dia bisa menjalani hidupnya dengan berbagai
macam kegiatan yg menyibukan. Sekolah, theater, latihan dan lain lain. Masa
saya sendiri tidak bisa. Saya juga mau hebat seperti adik kesayangan saya itu”
“Wah, hebat! Sepertinya dia benar benar jadi motivasi kamu yes. Good
girl!”
“Tentu…… Dulu saya memimpikan kuliah. Saya memimpikan
saat – saat jalan bersama dengan teman – teman sepulang kuliah. Saya memimpikan
saat – saat saya bekerja kelompok dengan teman – teman mendiskusikan tugas
kuliah. Saya memimpikan berada di ruangan kelas yang ber-AC, sibuk mencatat
kuliah dosen. Saya sangat memimpikan semua itu.
Tapi, saya sudah terlanjur bekerja di sebuah perusahaan
teman papa saya. Papa saya selalu menyuruh saya keluar dari pekerjaan dan
menyuruh saya untuk fokus kuliah, namun saya tidak enak dengan teman papa saya
itu, tapi saya berjanji untuk melanjutkan kuliah setelah setahun bekerja. Di
tambah dulu saya ikut kelas akselerasi jadi lulus lebih cepat dari teman teman
seumuran saya.
Setelah setahun bekerja, akhirnya saya tak sabar lagi
untuk menjalani mimpi saya itu. Saya mendaftarkan diri di kampus yang saya
inginkan. Saya juga tidak mau meninggalkan pekerjaan saya. Saya bisa mengatur jadwal
kok. Saya kuliah di malam hari dan kerja di pagi sampai sore hari. Capek tak
lagi saya rasa ketika semalaman harus begadang mengerjakan tugas kuliah. Kantuk
selalu menggoda setiap malam di kelas, dan sepanjang siang di tempat kerja.
Saat itu tidur siang adalah barang mewah buat saya. Saya tak punya satupun free
day.
Jatuh bangun saya menjalani kuliah sambil
kerja tahun pertama saya. Tapi saya puas. Itu
adalah keputusan saya. Dan saya bahagia menjalaninya. Dan seperti apa yang
Shania jalani, sibuk tapi saya yakin dia bahagia kok. Karna JKT48 itu adalah
passion dia. Disitu tempat dia belajar, tempat dia menggapai mimpinya”
..................Maaf saya jadi cerita panjang lebar,
rin”
“Hahaha tak apa, btw teman teman yg kamu ceritakan tadi
yes. Bagaimana kamu bisa mengenal dia? Coba ceritakan. Aku ingin jadi pendengar
yang baik hari ini”
Kamu tahu apa definisi kata ‘ajaib’? ‘Aneh’, ‘langka’,
atau ‘mukjizat’? Sepanjang apapun definisinya dan sebanyak apapun padanan
katanya, menurut saya ‘ajaib’ itu cukup terangkum dalam satu kata. Hayo coba
tebak apa?
*sodorin mic* kalau jawab “Shanjunisme” langsung saya
kasih soto sekaligus penjualnya.
Kenapa bisa?
Baiklah.
Mari kita clear kan sekarang juga. Duduk manis, siapkan
cemilan, saya naik ke mimbar *pret*
Ajaib dalam konteks per-Shanjunisme-an ini hampir sama
artinya dengan kata ‘aneh’. Ya, Shanjunisme itu aneh. Berawal dari sebuah
‘klik’ yang saya lakukan pada tombol ‘Follow’ di akun Twitternya, beberapa saat
kemudian keanehan-keanehan lainnya muncul berturut-turut.
Mendadak muncul ‘Shanjunisme’ di daftar LINE group ponsel
saya yg sebelumnya benci dengan grup-grup-an di LINE. Selain karena bunyi
notifications-nya yang mengganggu kedamaian hidup, terutama kalau mayoritas
membernya adalah biang gosip, juga karena kondisi ponsel saya sendiri. Menekan
‘Accept’ untuk sebuah request grup LINE itu sama halnya dengan menambah ‘beban
hidup’ bagi ponsel saya yang leletnya luar biasa.
Ajaib selanjutnya. Selain karena takdir Tuhan YME
(tssaahh!), karena Shania lah saya bertemu orang-orang baru. Orang-orang baru
yang tidak kalah ajaib. Ada yang berhidung lima, bertubuh empuk seperti
gula-gula kapas, bergigi bak serigala, bersayap kelelawar, bermata satu.
Tenang, yang ini becanda kok.
Satu persatu Shanjunisme yang saya kenal yang sebelumnya
hanya saya temui sebatas di dunia maya saja kini satu persatu kita bertemu di
dunia nyata.
Temen temen terasik, termepet
deadline, tersampah sticker, dan ter semuanya. Semoga
kita masih bisa bikin sesuatu lagi ya buat Shania Junianatha. Godspeed for us!!
Bertemu teman-teman baru, melakukan hal-hal baru, dan
segenap hal-hal unik, lucu dan haru lainnya. Sudah lebih dari cukup rasanya
untuk menguatkan premis bahwa Shanjunisme itu ajaib. Ya, setidaknya bagi saya.
Entahlah menurut kalian bagaimana.
Ada kalanya kita harus berhenti di sebuah stasiun
pemberhentian. Beberapa orang yang telah bersama kita dalam kereta, akan turun
meninggalkan kita demi tujuannya sendiri. Dan beberapa orang baru akan naik,
menggunakan kereta yang sama dengan kita, untuk mengejar tujuannya yang lain,
yang kini sama dengan kita.
--
Seperti pertemuan atau perkenalan saya dengan Ditta,
Dinda, Mitha, Kak Rina, Abi, Ilham, Dhean, Kelvin, Briliawan, Afry, Yohanes,
Lintang, Dhias, Mahendra, Jonathan,
Laud, Indra dan teman-teman lain yang menggemaskan dalam komunitas
Shanjunisme. Saya dan teman-teman Shanjunisme ini, mungkin awalnya berada dalam
rel yang tak sama dengan tujuan berbeda pula. Namun ada satu titik di mana kita
telah bertemu dan mengenal satu sama lain. Dan titik itu adalah sebuah stasiun
yang saya sebut “Shania”.
--
Rasanya sudah cukup banyak yang saya alami bersama
teman-teman dalam komunitas Shanjunisme ini. Banyak tawa, banyak canda. Banyak
belajar juga. Terima kasih untuk waktu-waktu menyenangkan bersama kalian, dear
Shanjunisme. Terima kasih sudah mau menyapa saat saya menaiki kereta dan kalian
sudah lebih dulu berada di dalamnya. Saya cinta kalian.
--
Kereta api terus berjalan, dan kita terus mengejar apa
yang kita mau. Mungkin saja nanti ada saatnya kita akan berpisah di sebuah
persimpangan rel, atau di sebuah stasiun pemberhentian lain, kemudian bukan
tidak mungkin kita kembali bertemu dan berjalan beriringan. Akan ada juga
pertemuan-pertemuan baru dalam perjalanan nanti. Saat kita beriringan, berjalan
dalam rel yang sejajar, bahkan berada dalam rel dan kereta yang sama, mari kita
rayakan dengan membuka hati dan sapa.
Every person we meet has the potential to become very
important in our lives. We just have to remain open to the possibilities and
blessing each encounter migh bring.
Kita akan selalu ada dan bersaudara.
Cheers!
**
“Wah, saya hampir tertidur mendengar ceritamu itu yes.
Sampai sekarang (dan mudah - mudahan sampai selamanya), semoga kamu masih
bertukar kabar, bertukar pikiran dan pendapat tentang hal apapun dengan mereka
ya. Saling menyemangati dan memotivasi untuk mimpi - mimpi yang ingin kalian
capai”
“………Selamanya dan pasti!”
Obrolan saya dan Arin pun berhenti sampai disini.
Pengunjung cafe semakin ramai. Saya melirik jam tangan saya. Ternyata sudah jam
makan siang. Saya pun meninggalkkan cafe ini untuk berjalan kaki menuju rumah.
Sepanjang perjalanan, Ipod saya memutar lagu Shonici milik JKT48 “Impian ada di
tengah peluh bagai bunga yang mekar secara perlahan, usaha keras itu tak akan
mengkhianati”
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar